Meninjau Ritual Malam Nishfu Sya’ban
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
- Setelah menyebutkan perkataan Ibnu Rajab dalam Lathoif Al Ma’arif, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz pun lantas mengomentari pendapat Al Auza’i dan Ibnu Rajab. Beliau rahimahullah mengatakan, “Dalam perkataan Ibnu Rajab sendiri terdapat kata tegas bahwa tidak ada satu pun dalil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum yang shahih tentang malam Nishfu Sya’ban. Adapun pendapat yang dipilih oleh Al Auza’i rahimahullah mengenai dianjurkannya ibadah sendirian (bukan berjama’ah) dan pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Rajab, maka ini adalah pendapat yang aneh dan lemah. Karena sesuatu yang tidak ada landasan dalilnya sama sekali, maka tidak boleh bagi seorang muslim mengada-adakan suatu ibadah ketika itu, baik secara sendiri atau berjama’ah, baik pula secara sembunyi-sembunyi atau terang-terangan.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 1/190).
Meninjau Ritual Malam Nishfu Sya’ban |
Di
sebagian kalangan masyarakat masih tersebar ritual-ritual di malam
Nishfu Sya’ban, entah dengan shalat atau berdo’a secara berjama’ah.
Sebenarnya amalan ini muncul karena dorongan yang terdapat dalam
berbagai hadits yang menceritakan tentang keutamaan malam tersebut. Lalu
bagaimanakah derajat hadits yang dimaksud? Benarkah ada amalan tertentu
ketika itu? Semoga tulisan kali ini bisa menjawabnya.
Meninjau Hadits Keutamaan Malam Nishfu Sya’ban
Penulis
Tuhfatul Ahwadzi (Abul ‘Alaa Al Mubarokfuri) telah menyebutkan satu per
satu hadits yang membicarakan keutamaan malam Nishfu Sya’ban. Awalnya
beliau berkata, “Ketahuilah bahwa telah terdapat beberapa hadits
mengenai keutamaan malam Nishfu Sya’ban, keseluruhannya menunjukkan
bahwa hadits tersebut tidak ada ashl-nya (landasannya).” Lalu beliau merinci satu per satu hadits yang dimaksud.
Pertama: Hadits Abu Musa Al Asy’ari, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ لَيَطَّلِعُ فِى لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيعِ خَلْقِهِ إِلاَّ لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ
“Sesungguhnya
Allah akan menampakkan (turun) di malam Nishfu Sya’ban kemudian
mengampuni semua makhluk-Nya kecuali orang musyrik atau orang yang
bermusuhan dengan saudaranya.” (HR. Ibnu Majah no. 1390). Penulis Tuhfatul Ahwadzi berkata, “Hadits ini munqothi’ (terputus sanadnya).” [Berarti hadits tersebut dho’if].
Kedua: Hadits ‘Aisyah, ia berkata,
قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ اللَّيْلِ فَصَلَّى فَأَطَالَ السُّجُودَ حَتَّى ظَنَنْت أَنَّهُ قَدْ قُبِضَ ، فَلَمَّا رَأَيْت ذَلِكَ قُمْت حَتَّى حَرَّكْت إِبْهَامَهُ فَتَحَرَّكَ فَرَجَعَ ، فَلَمَّا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ السُّجُودِ وَفَرَغَ مِنْ صَلَاتِهِ قَالَ : ” يَا عَائِشَةُ أَوْ يَا حُمَيْرَاءُ أَظَنَنْت أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ خَاسَ بِك ؟ ” قُلْت : لَا وَاَللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلَكِنِّي ظَنَنْت أَنْ قُبِضْت طُولَ سُجُودِك ، قَالَ ” أَتَدْرِي أَيَّ لَيْلَةٍ هَذِهِ ؟ ” قُلْت : اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ ، قَالَ : ” هَذِهِ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَطَّلِعُ عَلَى عِبَادِهِ فِي لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِلْمُسْتَغْفِرِينَ وَيَرْحَمُ الْمُسْتَرْحِمِينَ وَيُؤَخِّرُ أَهْلَ الْحِقْدِ كَمَا هُمْ
“Suatu
saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat
malam, beliau shalat dan memperlama sujud sampai aku menyangka bahwa
beliau telah tiada. Tatkala aku memperhatikan hal itu, aku bangkit
sampai aku pun menggerakkan ibu jarinya. Beliau pun bergerak dan
kembali. Ketika beliau mengangkat kepalanya dari sujud dan merampungkan
shalatnya, beliau mengatakan, “Wahai ‘Aisyah (atau Wahai Humairo’),
apakah kau sangka bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
mengkhianatimu?” Aku menjawab, “Tidak, demi Allah. Wahai Rasulullah,
akan tetapi aku sangka engkau telah tiada karena sujudmu yang begitu
lama.” Beliau berkata kembali, “Apakah engkau tahu malam apakah ini?”
Aku menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Beliau berkata,
“Malam ini adalah malam Nishfu Sya’ban. Sesungguhnya Allah ‘azza wa
jalla turun pada hamba-Nya pada malam Nishfu Sya’ban, lantas Dia akan
memberi ampunan ampunan pada orang yang meminta ampunan dan akan
merahmati orang yang memohon rahmat, Dia akan menjauh dari orang yang
pendendam.” Dikeluarkan oleh Al Baihaqi. Ia katakan bahwa riwayat
ini mursal jayyid. Kemungkinan pula bahwa Al ‘Alaa’ mengambilnya dari
Makhul. [Hadits mursal adalah hadits yang dho’if karena terputus
sanadnya]
Ketiga: Hadits Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
يَطَّلِعُ اللَّهُ إِلَى جَمِيعِ خَلْقِهِ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيعِ خَلْقِهِ إِلَّا لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ
“Allah
mendatangi seluruh makhluk-Nya pada malam Nishfu Sya’ban. Dia pun
mengampuni seluruh makhluk kecuali orang musyrik dan orang yang
bermusuhan.”Al Mundziri dalam At Targhib setelah menyebutkan hadits ini, beliau mengatakan, “Dikeluarkan oleh At Thobroni dalam Al Awsath dan
Ibnu Hibban dalam kitab Shahihnya dan juga oleh Al Baihaqi. Ibnu Majah
pun mengeluarkan hadits dengan lafazh yang sama dari hadits Abu Musa Al
Asy’ari. Al Bazzar dan Al Baihaqi mengeluarkan yang semisal dari Abu
Bakr Ash Shiddiq radhiyallahu ‘anhu dengan sanad yang tidak
mengapa.” Demikian perkataan Al Mundziri. Penulis Tuhfatul Ahwadzi
lantas mengatakan, “Pada sanad hadits Abu Musa Al Asy’ari yang
dikeluarkan oleh Ibnu Majah terdapat Lahi’ah dan dia dinilai dho’if.”
[Hadits ini adalah hadits yang dho’if]
Keempat: Hadits ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَطَّلِعُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَى خَلْقِهِ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِعِبَادِهِ إِلَّا اِثْنَيْنِ مُشَاحِنٍ وَقَاتِلِ نَفْسٍ
“Allah
‘azza wa jalla mendatangi makhluk-Nya pada malam Nishfu Sya’ban, Dia
mengampuni hamba-hamba-Nya kecuali dua orang yaitu orang yang bermusuhan
dan orang yang membunuh jiwa.” Al Mundziri mengatakan, “Hadits ini
dikeluarkan oleh Imam Ahmad dengan sanad yang layyin (ada perowi yang
diberi penilaian negatif/ dijarh, namun haditsnya masih dicatat).”
[Berarti hadits ini bermasalah].
Kelima: Hadits Makhul dari Katsir bin Murroh, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda di malam Nishfu Sya’ban,
يَغْفِرُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لِأَهْلِ الْأَرْضِ إِلَّا مُشْرِكٌ أَوْ مُشَاحِنٌ
“Allah ‘azza wa jalla mengampuni penduduk bumi kecuali musyrik dan orang yang bermusuhan”.
Al Mundziri berkata, “Hadits ini dikeluarkan oleh Al Baihaqi, hadits
ini mursal jayyid.” [Berarti dho’if karena haditsnya mursal, ada sanad
yang terputus]. Al Mundziri juga berkata, “Dikeluarkan pula oleh Ath
Thobroni dan juga Al Baihaqi dari Makhul, dari Abu Tsa’labah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَطَّلِعُ اللَّهُ إِلَى عِبَادِهِ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِلْمُؤْمِنِينَ وَيُمْهِلُ الْكَافِرِينَ وَيَدَعُ أَهْلَ الْحِقْدِ بِحِقْدِهِمْ حَتَّى يَدَعُوهُ
“Allah
mendatangi para hamba-Nya pada malam Nishfu Sya’ban, Dia akan
mengampuni orang yang beriman dan menangguhkan orang-orang kafir, Dia
meninggalkan orang yang pendendam.” Al Baihaqi mengatakan, “Hadits ini
juga antara Makhul dan Abu Tsa’labah adalah mursal jayyid”. [Berarti
hadits ini pun dho’if].
Keenam: Hadits ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا كَانَتْ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَقُومُوا لَيْلَهَا وَصُومُوا نَهَارَهَا فَإِنَّ اللَّهَ يَنْزِلُ فِيهَا لِغُرُوبِ الشَّمْسِ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا فَيَقُولُ أَلَا مِنْ مُسْتَغْفِرٍ فَأَغْفِرَ لَهُ أَلَا مُسْتَرْزِقٌ فَأَرْزُقَهُ أَلَّا مُبْتَلًى فَأُعَافِيَهُ أَلَا كَذَا أَلَا كَذَا حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ
“Apabila
malam nisfu Sya’ban, maka shalatlah di malam harinya dan berpuasalah di
siang harinya. Sesungguhnya Allah turun ke langit bumi pada saat itu
ketika matahari terbenam, kemudian Dia berfirman: “Adakah orang yang
meminta ampun kepada-Ku, maka Aku akan mengampuninya? Adakah orang yang
meminta rizki maka Aku akan memberinya rizki? Adakah orang yang mendapat
cobaan maka Aku akan menyembuhkannya? Adakah yang begini, dan adakah
yang begini, hingga terbit fajar.” Hadits ini dikeluarkan oleh Ibnu
Majah dan dalam sanadnya terdapat Abu Bakr bin ‘Abdillah bin Muhammad
bin Abi Saburoh Al Qurosyi Al ‘Aamiri Al Madani. Ada yang menyebut
namanya adalah ‘Abdullah, ada yang mengatakan pula Muhammad. Disandarkan
pada kakeknya bahwa ia dituduh memalsukan hadits, sebagaimana
disebutkan dalam At Taqrib. Adz Dzahabi dalam Al Mizan mengatakan,
“Imam Al Bukhari dan ulama lainnya mendho’ifkannya”. Anak Imam Ahmad,
‘Abdullah dan Sholih, mengatakan dari ayahnya, yaitu Imam Ahmad berkata,
“Dia adalah orang yang memalsukan hadits.” An Nasai mengatakan, “Ia
adalah perowi yang matruk (dituduh dusta)”. [Berarti hadits ini di
antara maudhu’ dan dho’if]
Penulis
Tuhfatul Ahwadzi setelah meninjau riwayat-riwayat di atas, beliau
mengatakan, “Hadits-hadits ini dilihat dari banyak jalannya bisa sebagai
hujjah bagi orang yang mengklaim bahwa tidak ada satu pun hadits shahih yang menerangkan keutamaan malam Nishfu Sya’ban. Wallahu Ta’ala a’lam.”[1]
Keterangan Ulama Mengenai Kelemahan Hadits Keutamaan Malam Nishfu Sya’ban
Ibnu Rajab di beberapa tempat dalam kitabnya Lathoif Al Ma’arif memberikan tanggapan tentang hadits-hadits yang membicarakan keutamaan malam Nishfu Sya’ban.
Pertama: Mengenai hadits ‘Ali tentang keutamaan shalat dan puasa Nishfu Sya’ban, Ibnu Rajab mengatakan bahwa hadits tersebut dho’if.[2]
Kedua: Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan,
“Hadits yang menjelaskan keutamaan malam Nishfu Sya’ban ada beberapa.
Para ulama berselisih pendapat mengenai statusnya. Kebanyakan ulama
mendhoifkan hadits-hadits tersebut. Ibnu Hibban menshahihkan sebagian
hadits tersebut dan beliau masukkan dalam kitab shahihnya.”[3] [Tanggapan
kami, “Ibnu Hibban adalah di antara ulama yang dikenal mutasahil, yaitu
orang yang bergampang-gampangan dalam menshahihkan hadits. Sehingga
penshahihan dari sisi Ibnu Hibban perlu dicek kembali.”]
Ketiga: Mengenai menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dengan shalat malam, Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Mengenai shalat malam di malam Nishfu Sya’ban, maka tidak ada satu pun dalil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
juga para sahabatnya. Namun terdapat riwayat dari sekelompok tabi’in
(para ulama negeri Syam) yang menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dengan
shalat.”[4]
Ada
tanggapan bagus pula dari ulama belakangan, yaitu Syaikh ‘Abdul ‘Aziz
bin ‘Abdillah bin Baz, ulama yang pernah menjabat sebagai Ketua Lajnah
Ad Da’imah (komisi fatwa di Saudi Arabia). Beliau rahimahullah mengatakan,
“Hadits yang menerangkan keutamaan malam nishfu Sya’ban adalah
hadits-hadits yang lemah yang tidak bisa dijadikan sandaran. Adapun
hadits yang menerangkan mengenai keutamaan shalat pada malam nishfu
sya’ban, semuanya adalah berdasarkan hadits palsu (maudhu’). Sebagaimana
hal ini dijelaskan oleh kebanyakan ulama.”[5]
Begitu
juga Syaikh Ibnu Baz menjelaskan, “Hadits dhoif barulah bisa diamalkan
dalam masalah ibadah, jika memang terdapat penguat atau pendukung dari
hadits yang shahih. Adapun untuk hadits tentang menghidupkan malam
nishfu sya’ban, tidak ada satu dalil shahih pun yang bisa dijadikan
penguat untuk hadits yang lemah tadi.”[6]
Memang
sebagian ulama ada yang menshahihkan sebagian hadits yang telah dibahas
oleh penulis Tuhfatul Ahwadzi. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah menshahihkan hadits Abu Musa Al Asy’ari di atas. Beliau rahimahullah menyatakan
bahwa hadits tersebut shahih karena diriwayatkan dari banyak sahabat
dari berbagai jalan yang saling menguatkan, yaitu dari sahabat Mu’adz
bin Jabal, Abu Tsa’labah Al Khusyani, ‘Abdullah bin ‘Amru, Abu Musa Al
Asy’ari, Abu Hurairah, Abu Bakr Ash Shifdiq, ‘Auf bin Malik dan ‘Aisyah.
Lalu beliau rahimahullah perinci satu per satu masing-masing riwayat.[7]
Namun sebagaimana dijelaskan oleh Abul ‘Alaa Al Mubarakfuri, hadits Abu Musa Al Asy’ari adalah munqothi’ (terputus
sanadnya). Hadits yang semisal itu pula tidak lepas dari kedho’ifan.
Sehingga kami lebih cenderung pada pendapat yang dipegang oleh penulis
Tuhfatul Ahwadzi tersebut. Ini serasa lebih menenangkan karena dipegang
oleh kebanyakan ulama. Itulah mengapa beliau, penulis Tuhfatul Ahwadzi
memberi kesimpulan terakhir bahwa tidak ada hadits yang shahih yang
membicarakan keutamaan bulan Sya’ban. Wallahu a’lam bish showab.
Pendapat Ulama Mengenai Menghidupkan Malam Nishfu Sya’ban
Mayoritas fuqoha berpendapat dianjurkannya menghidupkan malam nishfu sya’ban. Dasar dari hal ini adalah hadits dho’if yang telah diterangkan di atas, yaitu dari Abu Musa Al Asy’ari, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ لَيَطَّلِعُ فِى لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيعِ خَلْقِهِ إِلاَّ لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ
“Sesungguhnya
Allah akan menampakkan (turun) di malam nishfu Sya’ban kemudian
mengampuni semua makhluk-Nya kecuali orang musyrik atau orang yang
bermusuhan dengan saudaranya.” (HR. Ibnu Majah no. 1390). Dan juga beberapa hadits dho’if lainnya jadi pegangan semacam hadits dari ‘Ali bin Abi Tholib.
Imam
Al Ghozali menjelaskan tata cara tertentu dalam menghidupkan malam
nishfu sya’ban dengan tata cara yang khusus. Namun ulama Syafi’iyah
mengingkari tata cara yang dimaksudkan, ulama Syafi’iyah menganggapnya
sebagai bid’ah qobihah (bid’ah yang jelek).
Sedangkan Ats Tsauri mengatakan bahwa shalat Nishfu Sya’ban adalah bid’ah yang dibuat-buat yang qobihah (jelek) dan mungkar.
Mayoritas
fuqoha memakruhkan menghidupkan malam nishfu Sya’ban secara berjama’ah.
Ada pendapat yang tegas dari ulama Hanafiyah dan Malikiyah dalam hal
ini, mereka menganggap menghidupkan malam Nishfu Sya’ban secara
berjama’ah adalah bid’ah. Para ulama yang juga melarang hal ini adalah
Atho’ ibnu Abi Robbah, dan Ibnu Abi Malikah.
Adapun
Al Auza’i, beliau berpendapat bahwa menghidupkan malam nishfu sya’ban
secara berjama’ah dengan shalat jama’ah di masjid adalah suatu yang
dimakruhkan. Alasannya, menghidupkan dengan berjama’ah semacam ini tidak
dinukil dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak pula dari seorang sahabat pun.
Sedangkan
Kholid bin Mi’dan, Luqman bin ‘Amir, Ishaq bin Rohuyah menyunnahkan
menghidupkan malam nishfu sya’ban secara berjama’ah.[8]
Apabila
kita melihat dari berbagai pendapat di atas, jika ulama tersebut
menganggap dianjurkannya menghidupkan malam Nishfu Sya’ban, maka ada dua
cara untuk menghidupkannya.
Pertama,
dianjurkan menghidupkan secara berjama’ah di masjid dengan melaksanakan
shalat, membaca kisah-kisah atau berdo’a. Menghidupkan malam Nishfu
Sya’ban semacam ini terlarang menurut mayoritas ulama.
Kedua,
dianjurkan menghidupkan malam Nishfu Sya’ban, namun tidak secara
berjama’ah, hanya seorang diri. Inilah pendapat salah seorang ulama
negeri Syam, yaitu Al Auza’i. Pendapat ini dipilih pula oleh Ibnu Rajab
Al Hambali dalam Lathoif Al Ma’arif.[9]
Ibnu Taimiyah ketika ditanya mengenai shalat Nishfu Sya’ban, beliau rahimahullah menjawab,
“Jika seseorang shalat pada malam nishfu sya’ban sendiri atau di
jama’ah yang khusus sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian salaf, maka
itu suatu hal yang baik. Adapun jika dilakukan dengan kumpul-kumpul di
masjid untuk melakukan shalat dengan bilangan tertentu, seperti
berkumpul dengan mengerjakan shalat 1000 raka’at, dengan membaca surat
Al Ikhlas terus menerus sebanyak 1000 kali, ini jelas suatu perkara
bid’ah, yang sama sekali tidak dianjurkan oleh para ulama.”[10]
Ibnu
Taimiyah juga mengatakan, “Adapun tentang keutamaan malam Nishfu
Sya’ban terdapat beberapa hadits dan atsar, juga ada nukilan dari
beberapa ulama salaf bahwa mereka melaksanakan shalat pada malam
tersebut. Jika seseorang melakukan shalat seorang diri ketika itu, maka
ini telah ada contohnya di masa lalu dari beberapa ulama salaf. Inilah dijadikan sebagai hujjah sehingga tidak perlu diingkari.”[11]
Setelah
menyebutkan perkataan Ibnu Rajab dalam Lathoif Al Ma’arif, Syaikh
‘Abdul ‘Aziz bin Baz pun lantas mengomentari pendapat Al Auza’i dan Ibnu
Rajab. Beliau rahimahullah mengatakan, “Dalam perkataan Ibnu Rajab sendiri terdapat kata tegas bahwa tidak ada satu pun dalil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum yang shahih tentang malam Nishfu Sya’ban. Adapun pendapat yang dipilih oleh Al Auza’i rahimahullah mengenai
dianjurkannya ibadah sendirian (bukan berjama’ah) dan pendapat inilah
yang dipilih oleh Ibnu Rajab, maka ini adalah pendapat yang aneh dan
lemah. Karena sesuatu yang tidak ada landasan dalilnya sama sekali, maka
tidak boleh bagi seorang muslim mengada-adakan suatu ibadah ketika itu,
baik secara sendiri atau berjama’ah, baik pula secara sembunyi-sembunyi
atau terang-terangan.”[12]
Malam Nishfu Sya’ban Sama Seperti Malam Lainnya
Dalam
masalah ini, jika memang kita memilih pendapat mayoritas ulama yang
berpendapat bolehnya menghidupkan malam nishfu sya’ban, maka sebaiknya
tidak dilakukan secara berjama’ah baik dengan shalat ataupun dengan
membaca secara berjama’ah do’a malam nishfu sya’ban. Inilah yang menjadi
pendapat mayoritas ulama.
Sedangkan
bagaimanakah menghidupkan malam tersebut secara sendiri-sendiri atau
dengan jama’ah tersendiri? Jawabnya, sebagian ulama membolehkan hal ini.
Namun yang lebih menenangkan hati kami, tidak perlu malam Nishfu
Sya’ban diistimewakan dari malam-malam lainnya. Karena sekali lagi,
dasar yang dibangun dalam masalah keutamaan malam nishfu Sya’ban dan
shalatnya adalah dalil-dalil yang lemah atau hanya dari riwayat tabi’in
saja, tidak ada hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan atsar sahabat yang shahih yang menerangkan hal ini.
Jadi
di sini bukan maksud kami adalah tidak perlu melaksanakan shalat di
malam Nishfu Sya’ban. Bukan sama sekali. Maksud kami adalah jangan
khususkan malam Nishfu Sya’ban lebih dari malam-malam lainnya.
Perkataan yang amat bagus dari Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin, beliau rahimahullah mengatakan,
“Malam Nishfu Sya’ban sebenarnya seperti malam-malam lainnya. Janganlah
malam tersebut dikhususkan dengan shalat tertentu. Jangan pula
mengkhususkan puasa tertentu ketika itu. Namun catatan yang perlu
diperhatikan, kami sama sekali tidak katakan, “Barangsiapa yang biasa
bangun shalat malam, janganlah ia bangun pada malam Nishfu Sya’ban. Atau
barangsiapa yang biasa berpuasa pada ayyamul biid (tanggal 13, 14, 15
H), janganlah ia berpuasa pada hari Nishfu Sya’ban (15 Hijriyah).”
Ingat, yang kami maksudkan adalah janganlah mengkhususkan malam Nishfu
Sya’ban dengan shalat tertentu atau siang harinya dengan puasa tertentu.”[13]
Dalam
hadits-hadits tentang keutamaan malam Nishfu Sya’ban disebutkan bahwa
Allah akan mendatangi hamba-Nya atau akan turun ke langit dunia. Perlu
diketahui bahwa turunnya Allah di sini tidak hanya pada malam Nishfu
Sya’ban. Sebagaimana disebutkan dalam Bukhari-Muslim bahwa Allah turun
ke langit dunia pada setiap 1/3 malam terakhir, bukan pada malam Nishfu
Sya’ban saja. Oleh karenanya, sebenarnya keutamaan malam Nishfu Sya’ban
sudah masuk pada keumuman malam, jadi tidak perlu diistimewakan.
‘Abdullah
bin Al Mubarok pernah ditanya mengenai turunnya Allah pada malam Nishfu
Sya’ban, lantas beliau pun memberi jawaban pada si penanya, “Wahai
orang yang lemah! Yang engkau maksudkan adalah malam Nishfu Sya’ban?!
Perlu engkau tahu bahwa Allah itu turun di setiap malam (bukan pada
malam Nishfu Sya’ban saja, -pen).” Dikeluarkan oleh Abu ‘Utsman Ash
Shobuni dalam I’tiqod Ahlis Sunnah (92).
Al
‘Aqili rahimahullah mengatakan, “Mengenai turunnya Allah pada malam
Nishfu Sya’ban, maka hadits-haditsnya itu layyin (menuai kritikan).
Adapun riwayat yang menerangkan bahwa Allah akan turun setiap malam, itu
terdapat dalam berbagai hadits yang shahih. Ketahuilah bahwa malam Nishfu Sya’ban itu sudah termasuk pada keumuman hadits semacam itu, insya Allah.” Disebutkan dalam Adh Dhu’afa’ (3/29).[14]
Semoga sajian ini bermanfaat untuk memperbaiki amal ibadah kita.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi wa tatimmush sholihaat.
Referensi:
- Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, Asy Syamilah.
- Fatawa Al Islam Sual wa Jawab, Syaikh Sholih Al Munajjid, www.islamqa.com/ar.
- Lathoif Al Ma’arif fii Maa lii Mawaasimil ‘Aam minal Wazhoif, Ibnu Rajab Al Hambali, Al Maktab Al Islami, cetakan pertama, 1428 H.
- Liqo’ Al Bab Al Maftuh, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin.
- Majmu’ Al Fatawa, Ahmad Ibnu Taimiyah,Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426 H.
- Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, Mawqi’ Al Ifta’.
- Tuhfatul Ahwadzi bi Syarh Jaami’ At Tirmidzi, Muhammad ‘Abdurrahman bin ‘Abdurrahim Al Mubarakfuri Abul ‘Alaa, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, Beirut.
Kami harap para pembaca bisa membaca artikel yang berkaitan dengan artikel ini di sini.
Selesai disusun di Panggang-GK, 4 Sya’ban 1431 H (16/07/2010)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
[1] Lihat Tuhfatul Ahwadzi, 3/365-367. Kata yang didalam kurung […] adalah kesimpulan dari kami.
[2] Lathoif Al Ma’arif, 245.
[3] Lathoif Al Ma’arif, 245.
[4] Lathoif Al Ma’arif, 248.
[5] Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 1/188.
[6] Idem.
[7] Lihat As Silsilah Ash Shohihah, no. 1144.
[8] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah (2/594) pada pembahasan “Ihyaul Lail”.
[9] Lathoif Al Ma’arif, 247-248.
[10] Majmu’ Al Fatawa, 23/131.
[11] Majmu’ Al Fatawa, 23/132.
[12] Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 1/190.
[13] Liqo’ Al Bab Al Maftuh, kaset no. 115.
[14] Lihat Fatwa Al Islam Sual wa Jawab, no. 49678.
Dari artikel Meninjau Ritual Malam Nishfu Sya’ban — Muslim.Or.Id/null/10 Juli 2011
Sumber : www.nahimunkar.com
Sumber : www.nahimunkar.com